Pada zaman dahulu, hiduplah
sorang ibu janda miskin dan anak perempuannya yang tinggal di sebuah bukit
kecil jauh dari pemukiman penduduk, di daerah Kalimantan Barat. Ayah dari anak
tersebut meninggal saat ia masih kecil. Ia memiliki paras yang cantik, namun
iya memiliki sikap yang sombong. Ibunya menghidupinya sendiri dengan bekerja
keras di ladang.
Karena bekerja di ladang,
kulit ibunya kian menggelap, dan berat badannya menyusut. Matahari baru saja
terbit namun ibunya sudah harus ke ladang untuk bekerja demi memenuhi kebutuhan
nya dan anaknya. Segala yang dia inginkan harus dituruti, tetapi ia enggan
membantu ibunya. Kerjanya setiap hari hanya berdandan, dia juga enggan keluar
rumah karena takut kulitnya gelap seperti ibunya. Ia selalu menolak ajakan ibunya
untuk bekerja di ladang.
Suatu hari ibunya hendak
bekerja di ladang, ibunya berkata “nak bisakah kau menolong ibu memasak hari
ini? Karena ibu tidak bisa pulang siang ini bisakah kau mengantarkannya ke
ladang?” ia menjawab “tidak mau bu, jika aku memasak maka rambutku akan bau
asap. Lalu jika aku mengantarkan makan ke ladang nanti kulit ku jadi hitam, aku
kan habis luluran”.
Ibunya pun segera pergi
bekerja dengan perasaaan sedih. Sang ibu bekerja keras tanpa memeperdulikan
perutnya yang lapar, saat beristirahat ibunya hanya meminum air yang dibawanya.
Ia pun berdoa “ ya Tuhan, tolonglah ubah sifat anakku yang pemalas”. Saat
pulang iya terkejut karena tidak ada makanan untuk dimakan. Bukannya meminta
maaf ia malah marah kepada ibunya karena tidak membawakannya makanan.
Keesokan harinya ibunya
mengajak anaknya ikut ke pasar. Namun ia menolak karena tidak ingin kulitnya
hitam. Akhirnya sang ibu pergi ke pasar sendiri menjual hasil panen.
Sepulangnya dari pasar anaknya meilhat ibunya sedang menghitung uang dan
berkata “bu bedak ku sudah habis, tolong belikan dong bu”. Ibunya berkata “jika
kau ingin membeli bedak maka kau harus ikut denganku”. Akhirnya ia terpaksa
ikut ibunya ke pasar, ia berkata “bu kau jalan di belakang ku saja ya” karena
ia malu jika berdampingan dengan ibunya yang tak terawat.
Saat sedang perjalanan ia
bertemu dengan teman laki-lakinya. “kau mau kemana?” ucap temannya. Ia menjawab
“aku ingin pergi ke pasar”. temannya bertanya “siapa wanita tua dibelakang mu?
Dia ibumu?”. “dia bukan ibuku, dia hanya pembantuku. Ucap nya. Ibunya yang
mendengar perkataan tersebut merasa sangat sedih dan kecewa kepada
anaknya.
Saat mereka memasuki pasar,
ia bertemu dengan teman lainnya, dan iya masih mengaku bahwa ibunya hanyalah
pembantunya. Ibu nya tak mampu menahan kesedihan nya dan berdoa “ya Tuhan,
hamba sudah tidak kuat dengan perlakuan anak hamba, berikanlah ia balasan yang
setimpal”.
Tiba-tiba anaknya menjerit
“ibu kenapa aku tidak dapat menggerakkan kakiku?”. Sedikit demi sedikit
tubuhnya berubah menjadi batu, ibunya hanya bisa menangis dan berkata “maafkan
aku anakku”.
Anaknya meminta maaf dan
berjanji untuk berubah menjadi lebih baik, namun maaf itu sudah terlambat,
seluruh tubuhnya berubah menjadi batu dan mengeluarkan air mata yang terus
mengalir. Ia telah menerima hukuman karena menjadi anak yang durhaka
Kita harus menghargai seluruh
perjuangan orang tua dengan cara sopan santun, serta turut membantu meringankan
bebannya. Banyak hal yang dikorbankan orang tua agar anaknya bahagia, namun
orang tua tidak mengharapkan imbalan atau lainnya, hal-hal kecil dari anak
dapat menjadi kebahagiaan bagi orang tua seperti memberi perhatian kepada orang
tua.
Meski terkadang ada rasa
kecewa terhadap orang tua, namun bagaimanapun kia harus tetap menghargainya dan
tidak durhaka kepadanya, karena jika mereka sudah tidak ada, maka belum tentu
kita dapat melanjutkan hidup.
Ditulis Oleh: Aditya Farras naufal, Siswa SMAN 1 Pontianak
Proyek Penilaian Tengah Semester Sejarah
Tidak ada komentar